Pages

Like Box

Follow Twitter

Chat Me

Selasa, 31 Januari 2012

Peran Pers di Indonesia

Setelah lama meninggalkan blog ini, kali ini aku muncul kembali dengan penuh pemikiran dikepala. Didukung tangan yang lagi rajin untuk menulis, kubuatlah sebuah artikel ini. Selamat membaca :) 

Dunia pers telah menjadi salah satu bagian terpenting dalam sejarah Indonesia. Semenjak kemunculannya yang pertama kali pada abad ke-17 sebelum Indonesia merdeka, pers telah mengambil perannya sebagai saksi perkembangan tanah air. 

Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu : 

Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Surat kabar yang pertama kali muncul adalah Bataviasche Nouvelles yang terbit pada 1744. Seperti idealnya sebuah surat kabar, isinya tentu saja mengenai keadaan yang sedang terjadi di tanah air pada saat itu. 
Pada masa kolonial, kita tentunya tahu bagaimana kesengsaraan masyarakat Indonesia di tangan penjajah. Seiring dengan perkembangannya hingga tahun 1776, pers Indonesia telah banyak mengangkat mengenai permasalahan politik mengenai kekejaman Belanda. 
Kemunculan surat kabar tersebut, tentu saja membuat khawatir orang-orang Belanda karena dapat memicu pemberontakan dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, maka kegiatan pers Indonesia dihentikan pada tahun tersebut sampai pada akhir abad ke-19 setelah Indonesia merdeka. 

Pers Melayu-Tionghoa adalah pers orang-orang peranakan Tionghoa di Indonesia. Pers ini mula-mula dalam bahasa Melayu-Tionghoa yang dipengaruhi oleh bahasa Hokkian, kemudian seiring waktu berubah menjadi bahasa Indonesia. Pers ini memiliki sebuah fungsi untuk berkomunikasi di antara kaum peranakan Tionghoa dan masyarakat indonesia yang berbahasa indonesia umumnya. 

Pers Nasional adalah pers orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Sejarah pers pada abad 20, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa Indonesia, namanya Medan Prijaji, terbit di Bandung. 
Surat kabar ini diterbitkan dengan modal dari bangsa Indonesia untuk Indonesia. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisuryo alias Raden Mas Djikomono, yang sejak 1910 berkembang menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional yang meletakan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pembuatan karangan dan ikatan. 
Sedangkan surat kabar pertama untuk kaum pribumi dimulai pada 1854 ketika majalah Bianglala diterbtikan, disusul oleh Bromartani pada 1885 di Weltevreden, dan pada tahun 1856 terbit Soerat Kabar bahasa Melajoe di Surabaya. 

Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan. Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, 1945. Pers Indonesia menikmati masa gemilang. Di Jakarat dan di berbagai kota, bermunculan surat kabar baru. Pada masa ini, pers nasional menunjukan jatidirinya sebagai pers perjuangan. Pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Setelah merdeka, peranan pers mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sangat besar. Pers bukan saja memperluas jangkauan pemakai bahasa Indonesia, melalui cetakan, lisan (radio), ataupun melalui pers elektronik seperti televisi dan internet, melainkan juga berperan sebagai contoh pemakaian bahasa Indonesia bagi kebanyakan orang. 

Kemudian di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, menjadi pers partisan yang lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai- partai politik besar. Secara filosofis pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk pejabat partai. Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita, setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT). Lebih parah lagi, setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. 

Pada masa Orde Baru yaitu Tahun 1970-an dan tahun 1980-an, menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi. Dunia pers selalu terkukung oleh penguasa karena keberadaannya dalam pengungkapan kebenaran. Ada banyak berita manipulasi yang dibuat pada saat itu untuk melindungi pemerintahan orde baru. Media massa yang mencoba untuk mengungkapkan fakta yang sesungguhnya pada masyarakat harus menerima kenyataan pahit akan teror tiada henti yang dilakukan oleh pemerintah. Tidak jarang pula nyawa seorang reporter ataupun petinggi redaksi media massa menjadi taruhannya. 

Di awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi. Pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor. Profesi jurnalisme diharapkan dapat menjadi suatu ranah yang memiliki otonomi dan independensi dalam menjalankan fungsi imperatif yang melekat dalam kehadirannya di tengah masyarakat. Peran institusional media pers pada dasarnya adalah memelihara ruang publik dengan basis nilai kultural. Pada awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie. 

Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 tentang fungsi Pers nasional, yaitu : Sebagai wahana komunikasi massa, sebagai penyebar informasi, sebagai pembentuk opini, sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi. 

UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb : Media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya, media perantara bagi pemerintah dan masyarakat, penyampai informasi kepada masyarakat luas, penyaluran opini publik. 

Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu dibuktikan¬¬ dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut hanya melibatkan 3 tahap saja. Yang kemudian tongkat pemerintahan diteruskan oleh Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.
separador

0 komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Selamat Datang

Translate

Pengunjung

Wikipedia

Hasil penelusuran

Entri Populer

Followers