Judul buku : The Mocha Eyes
Penulis : Aida M.A.
Penerbit : Bentang Belia (PT Bentang
Pustaka)
Tebal Buku : 250 halaman
Tahun : Cetakan I, Mei 2013
Hidup itu bukan bukan berarti
sepenuhnya pahit atau manis, tapi seperti secangkir moka, bukan secangkir kopi
tanpa gula. Hidup itu terlalu sederhana jika hanya digambarkan dengan satu rasa
saja. Cokelat dan kopi merupakan paduan yang tepat untuk menggambarkan hidup. Begitulah
sepotong kalimat pada prolog yang menggambarkan sisi kehidupan yang ingin
disampaikan penulis dari novel ini.
Novel The Mocha Eyes merupakan sebuah
novel bernuansa romance dengan sentuhan dialog romantis yang mampu
membawa pembacanya hanyut dalam cerita dan seakan terjun langsung ke dalam setiap
adegan yang dipaparkan dalam novel. Alur yang dikisahkan menggunakan gaya
bercerita maju mundur, walaupun demikian tetap terasa ringan dengan bahasa yang
mudah dimengerti. Sehingga makan yang disampaikan dalam novel ini dapat di
cerna dengan cepat.
Dalam hidup memang penuh kejutan, apa
yang terjadi kita tidak dapat menduganya. Begitulah kisah novel ini yang mengangkat
perjuangan Muara sebagai tokoh utama dalam menghadapi konflik psikologis yang
dialaminya pasca pelecehan seksual yang dialaminya saat di kampus. Belum kering
lukanya di tambah lagi kabar buruk dengan kepergian ayahnya untuk
selama-lamanya. Kejadiaan ini tentunya sangat berdampak buruk pada perkembangan
kepribadian Muara. Ia berubah dratis dari yang ceria dan ramah menjadi sosok dingin,
keras kepalanya juga antisosial.
Aida M.A. sebagai penulis novel ini
cukup lihai dalam mengembangkan karakteristik Muara. Watak Muara yang keras kepala memang
tergambar jelas, membuat semakin menarik untuk dibaca. Dalam novel ini penulis
juga kerap kali menyelipkan filosofi hidup yang tentunya cukup menarik kita
ambil hikmahnya.
Diantara masalah-masalah hidup yang
menimpanya, Muara mulai menata hidupnya kembali, namun memang sangat sulit
untuk dilakukannya. Dimana ketika Muara mendapat kesempatan menjalin hubungan
dengan Damar dan mulai mencintainya, malah lagi-lagi keberuntungan tidak
berpihak padanya. Pria itu meninggalkannya dengan alasan ia seperti pacaran
dengan dinding yang keras dan dingin.
Muara benar-benar terpuruk, tidak
percaya dan menjauh dari lawan jenis. Bahkan sudah empat kali ia keluar masuk
tempat kerja. “Perasaan manusia itu seperti cangkir, setiap saat diisi dengan
berbagai macam hal. Kamu tidak akan merasakan bahagia, jika kamu membiarkan
cangkirmu diisi penuh dengan sesuatu yang rasanya pahit. Rasa cangkirmu itu
berdasarkan apa yang kamu pilih” Walaupun kata ini sudah puluhan kali Muara
dengar dari mulut ibunya, pilihannya tetap saja pahit, hitam dan pekat seperti
kopi. (Halaman 77)
Hingga Muara bekerja di front store, dan di haruskan mengikuti training motivasi untuk semua crew. Dari sinilah terjadi pertemuan
antara Muara dan seorang pria bernama Fariz yang merupakan salah seorang
konsultan dalam training motivasi
itu. Fariz yang akhirnya memberikan pencerahan dalam hidup Maura, agar bisa memaafkan
orang-orang yang telah menyakitinya atau sesuatu yang berada di luar
kontrolnya, dengan begitu dapat terhindar dari rasa sakit yang lebih jauh. Seperti kata ibunya, “Ada sesuatu yang berada di
luar kontrolmu, jadi jangan terlalu menaruh sebuah harapan terlalu tinggi.
Apalagi ketika tidak sesuai dengan harapan, kamu akan setengah mati belajar
untuk waras” (Halaman 23)
Fariz terlihat menyukai sosok Maura dari awal
perjumpaan, dan diam-diam Maura telah ada di hatinya seperti sosok siluet yang
selalu hadir dalam mimpinya. Hingga mengubah kata kopi dalam hidup Maura
menjadi kata moka.
0 komentar:
Posting Komentar