Pages

Like Box

Follow Twitter

Chat Me

Minggu, 29 April 2012

Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa

Sahabat blogger, kali ini aku mau mengulas mengenai kritikal review mengenani sebuah buku yang berasal dari pemikiran Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A. untuk lebih lanjutnya baca yuk........

Politik memilki pengertian siapa, memperoleh apa dan bagaimana. Politik memang tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya kekuasaan, politik merupakan alat untuk mencapai kekuasaan. Dalam berpolitik untuk mendapatkan kekuasaan pastinya para penguasa banyak melakukan intrik dan lobi politik. Lobi diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan memengaruhi orang yang memiliki kedudukan penting, sehingga dapat memberikan keuntungan bagi diri sendiri maupun kelompok yang melobi.

Setiap  penguasa memilki Perbandingan dalam melakukan intrik dan lobi politik. Perbandingan itu tampak jelas ketika adanya suatu perbandingan yang membedakan antara masyarakat zaman dulu dengan masyarakat zaman sekarang. Termasuk dari aspek pemahaman maupun penyikapannya terhadap realitas kehidupan bangsa. Dilihat dari  jabatan yang diemban pastinya sama, yakni sebagai presiden. Namun, dalam pelaksanaannya, pasti akan muncul sejumlah perbedaan. Dari perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian menimbulkan sederet realitas kehidupan bangsa yang tidak sama.


Untuk lebih melihat adanya perbedaan intrik & lobi politik para penguasa Dari Soekarno sampai SBY maka saya melakukan review terhadap pemikiran Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A dalam bukunya Dari Soekarno sampai SBY: intrik & lobi politik para penguasa.

Dalam buku Tjipta Lesmana ini, mengungkapkan bahwa tingkat perbedaan intelektulitas seorang presiden dengan presiden lainnya, terbukti bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan sosial bangsa-negara. Menurut Tjipta Lesmana, perbedaan tingkat emosional dan spiritual juga memiliki andil dalam perubahan. Artinya, tingkat perbedaan intelektualitas, emosionalitas, dan spiritulitas antara Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, berkorelasi positif dengan perbedaan pola interaksi sosial mereka. Dari perbedaan interaksi sosial yang berkaitan erat dengan pola komunikasi inilah yang akhirnya menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Mulai intrik, lobi politik hingga menyikapi kritik pun, mereka belum tentu sama dalam satu pola komunikasi politik.

Presiden pertama kita, Soekarno tampak sebagai sosok yang memiliki ilmu yang dalam, piawai menganalisis situasi politik, matang dalam berpolitik, dan berani menghadapi tantangan dan tegas. Namun, ”Singa Podium” ini tak ubahnya seperti manusia biasa yang punya amarah dan salah. Dalam kemarahannya, ia sering menggebrak meja, menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran dengan suara yang keras, menantang, memperingatkan dan mengancam.

Dasar pemikiran dari Tjipta Lesmana tidak terlepas dari pemikiran Edward T. Hall (1976), seorang antropolog Amerika. Menurut pendapatnya, mengenai konteks komunikasi yang disampaikan Soekarno ini low context, yakni  jelas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling. Selain itu, ia sering menggunakan bahasa yang mengulang-ulang.

Berbeda dengan Soeharto, yang lebih banyak mendengar dan senyum. Menurut pendapat Edward T. Hall dalam berkata, Soeharto sering menggunakan bahasa yang high context, yakni tidak jelas, penuh kepura-puraan (impression management), teka-teki, rahasia, dan amat santun serta multi tafsir. Tidak jarang para menteri perlu merenungkan atau menanyakan kepada orang lain tentang arti dari komunikasi presiden terhadap mereka. Bagi yang tidak memahami komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai gebukan atau perlawanan rakyat dan lingkungan sekitar.

Berbeda dengan Presiden BJ. Habibie ketika marah ia tampak menggunakan bahasa low context. Sering melototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka memerah dan suara keras. Ia juga dikenal sebagai sosok yang temperamental. Meski cerdas, ia cepat emosi dan cepat marah, terlebih ketika ditantang, dikritik, dan didebat.

Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah, kadang menggebrak meja dan atau mengancam. Meski begitu, Gus Dur tidak lepas dari sifat gampang tidur dan humorisnya. Sering dalam setiap sidang kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan ritual tidur. Ketika salah atau mendapat konfirmasi dari orang yang merasa dirugian, Gus Dur sering menanggapinya dengan santai.

Sedangkan Megawati, setiap marah suka menghardik korbannya. Misalnya, ketika Megawati sedang menghadiri acara dengan sejumlah kerabatnya di restoran sebuah hotel mewah di Singapura. Dalam acara itu, Roy BB. Janis dihardik habis-habisan di depan umum akibat kedatangannya tidak diundang. Selain itu, ia juga terkenal pendendam. SBY merupakan salah satu contoh yang menjadi korban sifat pendendam itu. Dalam debat calon presiden 2004, misalnya, gara-gara menaruh dendam dengan SBY, Megawati mengajukan syarat kepada penyelenggara acara untuk menghapus acara jabat tangan antar calon. Dalam pelantikan Presiden SBY pun, Megawati tidak mau menghadirinya.

Megawati dalam berkomunikasi tidak bisa efektif. Ia lebih suka diam atau menebar senyum dari pada berbicara. Selama berpidato, suaranya tampak datar, nyaris tidak ada body language sama sekali. Ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali pandangannya lepas dari teks pidato di depannya. Ironisnya, dalam setiap pembicaraan dengan orang-orang dekatnya lebih banyak membicarakan shopping dari pada soal-soal yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Dalam menghadapi kritik, ia sering tidak tahan, alergi kritik.

Meski tidak jarang menuai kritik, SBY tampak merasa gerah pula. Bahkan, SBY sering balas mengkritik bagi orang atau pihak yang berani mengkritiknya, termasuk kebijakan pemerintah. Namun, dalam setiap pembicaraannya, SBY tergolong cukup hati-hati. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya diartikulasikan secara cermat. Dalam perspektif komunikasi, SBY tergolong dalam lower high context. Ia gemar menggunakan analogi dalam menggambarkan suatu masalah dan tidak bicara secara to the point. Hanya hakikat suatu permasalahanlah yang sering disampaikannya. Dalam berbagai kesempatan, SBY seperti sengaja tidak mau memperlihatkan sikapnya yang tenang, tetapi membiarkan publik menebak-nebak sendiri.

    Saya rasa untuk kedepannya, para penguasa yang terpilih untuk lebih hati-hati dalam memakai intrik-intrik dan melobi. Gunakanlah sistem yang tegas, jangan sampai kekuasaan kalian di bilang lemah. Diharapkan lebih peka terhadap persoalan yang terjadi dalam masa periode jabatannya. Jadilah penguasa yang memilki hati nurani.



separador

0 komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Selamat Datang

Translate

Pengunjung

Wikipedia

Hasil penelusuran

Entri Populer

Followers