Pages

Like Box

Follow Twitter

Chat Me

Selasa, 22 November 2011

Si Merah Penjual Somay

Eemmhhhh..... belajar buat feature ne,

Banda Aceh – Cuaca siang hari itu, Sabtu (8/10/11) terasa begitu cerah. Kami melangkahkan kaki menuju sebuah tempat yang tak jauh dari Mesjid Jamik Unsyiah, tepatnya disepanjang trotoar lapangan Tugu yang biasanya dijadikan tempat untuk beberapa orang mencari nafkah. Tampak deretan gerobak makanan yang membuat kami merasa lapar, tanpa berfikir panjang kami menghampiri gerobak somay yang unik dengan warna mencolok. “Saya memakai topi dan gerobak berwarna merah karena permintaan salah satu pelanggan, katanya agar saya mudah dikenali” tutur penjual sambil tersenyum. 

Sunarto, demikian ia biasa di panggil, adalah seorang bapak berusia 45 tahun. Membuat somay dan menjualnya adalah pekerjaan sehari-hari baginya. Ia berangkat pukul 10.00 dari Punge menuju Darussalam untuk berjualan. Biasanya ia berjualan di pinggiran lapangan Tugu, dan sesekali sunarto juga berkeliling di Ruang Kuliah Umum (RKU). Kebanyakan pembeli somay Sunarto dari kalangan mahasiwa dan pengunjung lapangan Tugu.

Dalam berjualan Sunarto juga memiliki strategi khusus yakni kebersihan, bersikap ramah dan tersenyum. Bahkan, tangan-tangannya tampak terlatih saat melayani setiap pembeli. “Kalau kita ramah sama pelanggan, terus pelanggan senang, kan nanti mereka datang lagi untuk beli” jelasnya. Tak jarang Sunarto menjumpai pelanggan yang menyebalkan dan banyak permitaan. Namun, ia tetap tersenyum melayani pembeli tersebut. Baginya pembeli adalah raja, dan dri merekalah ia mendapat uang. Begitulah aktivitas Sunarto sebagai tukang penjual somay. 

Ia dulunya bekerja sebagai teknisi mesin di Yogyakarta, kemudian berpindah haluan menjadi penjual siomay di Banda Aceh. Menurutnya penghasilan menjadi teknisi mesin tidak menjanjikan karena teknisi mesin merupakan pekerjaan musiman sedangkan berjualan somay ia mendapatkan penghasilan setiap hari. Bapak dari dua anak ini rela meninggalkan keluarganya di Yogyakarta menuju ke Banda Aceh demi mencari nafkah yang lebih menjanjikan, dari pada menjadi teknisini di Yogyakarta. Anak Sunarto kedua-duanya adalah laki-laki, dan kedua-duanya bersekolah di Sekolah Teknik Mesin (STM) Yogyakarta. 

Hal ini menjadi beban terhadap Sunarto, ia pun harus mencari penghasilan yang lebih setiap harinya. Dengan penghasilan sebesar Rp.450.000 per hari, ia menghidupi keluarganya dan membiayai sekolah kedua anaknya, selain itu ia juga harus menghidupi dirinya sendiri selama tinggal di Banda Aceh. Tempat tinggal yang berbeda bahkan juga beda Provinsi membuat Sunarto sering merasa rindu kepada istri dan kedua anaknya. “Istri dan kedua anak saya akan tetap tinggal di Yogyakarta, tidak akan pindah ke Banda Aceh,” tutur Sunarto saat ditanyai di lokasi ia berjualan. 

Menurut Sunarto, biaya hidup di Yogyakarta lebih murah dibandingkan di Banda Aceh. Ini Salah satu penyebab kenapa keluarganya akan tetap tinggal di Yogyakarta. Selama dua tahun ia berada di Banda Aceh, ia selalu bekerja keras mencari uang. Ia sering kepanasan bahkan kehujanan, namun ia tetap semangat. Ia tak pernah libur berjualan. Sunarto berjualan dari pagi hari hingga waktu yang tidak ditentukan. Ia pulang kalau dagangannya sudah habis. 

Hari menjelang sore, kami melangkah pergi meninggalkan lapangan Tugu untuk segera beranjak pulang, sambil tetap memperhatikan kegiatan Sunarto yang sedang memasukkan somay ke dalam kantung plastik dari kejauhan.
separador

0 komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Selamat Datang

Translate

Pengunjung

Wikipedia

Hasil penelusuran

Entri Populer

Followers